Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 November 2011

ETNIK MASYARAKAT PULAU DEWATA DALAM UPAYA KEAARIFAN LOKAL TANAMAN PADI (Oryza sativa)

Kajian Silang Budaya. Kasus Budidaya Padi sebagaoi Simbul Dewi Sri
 Kajian lontar Budidaya Padi sebagai simbul Dewi Sri karena hampir seluruh etnik di Nusantara dan Asia memandang padi bukan hanya sekedar makanan, lebih dari itu budidaya padi adalah sebuah kebudayaan, kalender kehidupan. Tahapan budidaya padi bahkan dianalogkan dengan tahapan upaara kehidupan manusia (Bali) dan padi adalah penjelmaan Dewi Sri yaitu Dewi Kesuburan. Awal sejarah dan kebudayaan bangsa –bangsa Asia , seperti India dan China beawal dari kebudayaan budidaya padi.
Sejarah kebudayaan manusia pada awalnya bersifat deterministik, yang ditandai kegiatan pengumpul makanan sesuai dengan keadaan lingkungan dan kemampuannya. Aktivitas pertanian adalah turunan kegiatan berikutnya dan merupakan satu bentuk revolusi dalam kebudayaan manusia, khususnya budidaya padi. Sejarah budidaya padi masih menyisakan berbagai perdebatan, tetapi telah ada kesepakatan bahwa budidaya pertama terdapat di lembah Sungai Yangtze (China) pada 8000 tahun yang lalu (Higham and Lu, 1998), yaitu species Oryza sativa. Padi adalah makanan yang bersifat sakral yang tertuang dalam konsep; “Hidup karena padi maka tubuh dan jiwa melekat pada padi”
Penggunaan beras di Asia tidak hanya sebagai bahan makanan tetapi terkait dengan kelembagaan dan spiritual (Hamilton, 2003). Beras bagi masyarakat agraris Asia bermakna ganda yaitu makanan fisik dan spirit, sehingga padi sebagai sumber makanan harus dipertahankan.
Sejarah padi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan sejarah padi di Asia, terutama India, karena kebudayaan padi di Indonesia sangat terkair dengan kebudayaan India, (padi dalam arti fisik dan spirit). Nama Pulau Jawa, beberapa pendapat mengungkapkan berasal dari kata jawawut yang berarti padi. Dewi Sri, Sanghyang Sri, sebagai sakti Dewa Wisnu menggambarkan keterkaitan padi dengan kebudayaan. Penggunaan tepung tawar (pembersihan menggunakan simbul beras, penggunaan bija di kening dan dahi adalah simbul inisiasi, sebagai lambang ke- bijaksanaan (bija- aksara). Sebaran padi di Indonesia dan penggunaannya sebagai makanan pokok pada awal sejarahnya mulai tersebar dari Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi dan penggunaan padi sebagai bahan makanan pokok menyebar di seluruh Indonesia.
Padi Makanan Sakral dan Dewi Kesuburan Masyarakat menanam dan memelihara padi karena bertumpu pada kepercayaan sebagai turunan sistem religi (Hamilton, 2003). Padi sebagai sumber makanan bagi masyarakat agraris bermakna ganda karena memiliki nilai fisik dan spirit, sehingga padi sebagai sumber makanan akan tetap bertahan. Oryza sativa digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu Tropical indica dan temperate javonica. Padi digolongkan dalam empat kelompok sesuai dengan kedekatannya dengan air. Padi beririgasi (irrigated), psdi tadah hujan dataran rendah (rainfall lowland), padi Lumpur (flood plain) dan padi air dalam (deep water). Dewi Sri (Sakti Dewa Wisnu) dikenal sebagai Dewi Kemakmuran. Variasi sebutan dewi kesuburan di Indonesia antara lain dikenal nama; Ine Pare atau Besi Pare (Flores), Ande Gadih (Minangkabau), Sanhyang Sri (Jawa, Sunda), Betari Sri, Dewi Sri, Sanhyang Sri (Bali). Dewi Sri adalah Dewi Kemakmuran, sedangkan Ibu Kesuburan personifikasi spirit tanaman padi (Klopfer` 1994). Dalam bahasa Sanskerta dikenal istilah anna (Laksmi) karena dihubungkan dengan Dewi Padi (Ferro-Luzzi, 1997, dalam Hamilton 2003)` Keutamaan Dewi Laksmi diungkapan sebagai berikut.
Without Laksmi there is no food, no life sustenance (Marglin, 1985). “ Rice originate from the body of Indra, the soma of juice flowed and because rice in this way his energies, went from him (Satapatha Brahmana ) (Kumar, 1998 dalam Hamilton, 2003). Proses ritual dalam budidaya padi dapat memberi penguatan pada setiap jenjang aktivitas, karena segalanya dipandang bersifat sakral atau disucikan misalnya sawah dianggap suci dan air yang mengairipun bersifat suci (holly water). Sejarah Dewi Sri di Indonesia, tidak hanya potret kehadiran Dewi Kemakmuran yang dipuja masyarakat untuk kebahagiaannya, tetapi berkaitan langsung dengan kesuburan tanah (Dewi Kesuburan) dan sumber makanan (Hamilton, 2003). Sistem tanam padi di Toraja (Mabua Pare), sehingga padi bermakna kesuburan, prokreasi (Crystal, 2003). Hal serupa terjadi di Tai Yong, Thailand dalam versi yang berbeda (Trankell 1995 dalam Hamilton, 2003) seperti terangkum dalam beberapa cerita di Asia.
Padi bermula dari aktitas Dewa–Dewi, dimana Dewa Kemakmuran melakukan pemujaan bagi dirinya, sehingga padi yang dihasilkan berasal dari badannya, sehingga padi yang dihasilkan bersifat sakral. Siklus hidup dan kesuburan padi setara dengan siklus hidup dan kesuburan dewi kemakmuran, dimana upacaranya mengikuti upacra siklus hidup manusia.

a. Si Dang Sari atau Si Dang Gembala, : Maklaysia, (Zainal, 1985)
b. Mae Pho Sop , Thailan (Rajadkon, 1961). Setiap butir padi adalah bagian dari tubuh Mae Pho Sop dan mengandung spirit (khwan) darinya ( Honks, 1960)
c. Dewi Sri, Betari Sri, Sang Hyang Sri ( Bali), Dewi Sri (Jawa)
d. Mabua Pare di Toraja
Upacara atau ritual dalam budidaya padi tergolong dalam teknologi, yaitu ritual teknologi, karena budidaya padi merupakan proses teknologi (Condominias, 1986). Ritual bagian dari regulasi agriculture, sebagai kalender kehidupan masyarakat.
 2. Padi dan Lanskap Masyarakat Sistem produksi padi di Jawa dan Bali telah melahirkan bentangan lahan dengan sistem tanam padi sawah beriirigasi yang unik dan sangat maju. Lanskap persawahan terbentang di dataran Pulau Jawa dan Pulau Bali, dan kini telah berkembang di Sulawesi dan Kalimantan maupun Sumatra.
Padi dan persawahan memiliki spirit kehidupan yang berlangsung dari waktu ke waktu dalam spirit menanam padi dari tahun ke tahun, bahkan bulan ke bulan, dan bahkan lebih dari itu sawah dan padi sebagai ibu pertiwi atau dewi kemakmuran. Budidaya padi dan 51
persawahan merupakan kesatuan siklus pertanian yang ditentukan oleh momentum waktu, varietas padi, karakteristik lingkungan dan kebutuhan sehingga memerlukan keterlibatan organisasi tenaga kerja dan spirit ritual. Siklus pertanian menjadi pedoman utama kalender kehidupan sosial, dan menganalisis salah satu diantaranya berarti menganalisis lainnya (Lansing, 1991, dalam Hamilton, 2003). Ritme siklus pertanian dengan nama-nama bulan dan hari yang tersebar di Thailand karena pengaruh Budhis, Tharu di Nepal dan Manipur India. Kalender Bali yang berulang dalam 6 bulan, dimana setiap bulan terdiri atas 5 wuku dan setiap wuku terdiri atas 7 hari, sehingga siklusnya berputar dalam 30 wuku selama 210 hari. Siklus memanen menjadi satu kesatuan dengan menanam, arena pada saat panen dilakukan pemilihan bibit untuk masa tanam berikutnya. Kebudayaan padi dan persawahana sesuai dengan tahapannya mendorong munculnya aktivitas ikutannya. Artefak sawah beririgasi di Bali (subak) merealisasikan prinsip pengambilan air kehidupan (amerta) dari pegunungan menuju dataran dan pantai. Pengangkatan air sungai melalui empelan (bendungan), mengikuti bentang alam dan memerlukan kerja kelompok sosial yang sangat solid. Jenjang pembagian air menuju persawahan menggambarkan keutuhan sistem berkeadilan dan kelembagaan transparan. Keadilan merupakan syarat utama dalam sisem subak
Analogi Ritual Budidaya Padi dan Ritual Kehidupan Manusia Integrasi pertanian yang bersifat sosio-tekno-religius diungkapkan dalam kesetaraan tahapan upacara manusia dengan pemeliharaan padi, sebagai penghormatan kepada Dewi Kesuburan. Sisi-sisi ritual tersebut masih tertinggal sebagai adat di beberapa desa di Jawa, seperti adat ngusabha, saren tahun dan sekaligus bersih desa. Tampilan lengkap budaya tersebut dapat dijumpai pada masyarakat petani Bali, yang tergambar mulai dari proses menanam, memetik dan mengolah padi. Tahapan selengkapnya menurut beberapa pihak (Suryadarma, 2006).
a. Ngurit : Pembibitan padi pada lahan semaian,banten kojomg, ditaruh di bawah
b. Ngabut bilih : Mencabut benih 1-3 hari sebelum ditanam
c. Nandur : Nanam padi, banten sanggah ( tempat dari bambu)
d. Ngepusin : Sesaji pada hari ke 7, kepus pungsed/ lepas tali pusar
e. Tutug kambuhan: Sesaji (bulan pitung dina, 35 + 7 ), mecolongan, nyuwuk
f. Nyakap : Padi beling, 3 bulan, banten gublag-gablig, ibarat mengawinkan
g. Mesabha : Padi kuning menjelang panen. Upacara pura subak, dan sawah
h. Manyi : Panen, sesaji di bedugul sawah, mebuat Dewi Sri dari padi
i.  Mantenin : Upacara padi setelah di lumbung, membuat banten suci

Urutan upacara secara jelas diungkapkan oleh Ketua subak dan anggota kelompoknya di Desa Jatiluwih, Tabanan Bali (Suryadarma 2005). Pada saat padi berumur 1 bulan 7 hari (35 hari + 5 hari = 42 hari) anggota subak tidak boleh bekerja di sawah, karena hari itu setara dengan upacara tutug kambuhan atau upacara 42 hari pada bayi, begitu pula upacara ikutannya. Pernyataan serupa disampaikan petani transmigran asal Bali di Luwu Sulawesi (Roth, 2005).
Dewi Sri atau sebagai Sakti Dewa Wisnu secara umum dikenal sebagai Dewi Kemakmuran dan padi adalah sumber kehidupan. Nasi adalah makanan yang diperoleh dari padi, dimana padi dipandang sebagai makanan yang suci yang diberikan kepada manusia. Realitas tersebut sangat kuat di Bali, dimana sebutan kepada padi dengan istilah Betari Sri, Dewi Sri, Sanghyang Sri dan di Jawa dan Sunda disebut Sang Hyang Sri . Pengetahuan sumber makan di Bali disajikan dalam lagu (pupuh) berikut “ beras jagung, yukti katah mertan ipun janten kedas nyalang daun bayem miwah undis jangan kangkung, kacang panjange utama” Pupuh tersebut secara mendasar mendeskripsikan sumber dan komposisi zat makanannya. Makanan utama adalah beras dan jagung, kualitasnya tercermin dari bersih (kedas) dan bercahaya (nyalang), sayurannya bayam, kacang undis, kangkung, kacang panjang, bersifat baik (utama). Secara implisit menegaskan bahwa sumber makanan berasal dari lingkungannya sebagai hasil produksinya. Masyarakat secara ekologis memahami lingkungannya dan memaknai dirinya bagian dari bioregion.
Masyarakat Bali selain menyebut Dewi Sri secara eksplisit menyebut dewi kesuburan tanaman, Dewa Danu sebagai pusat sumber air yang terletak di Pura Ulun Danu dan lebih luas lagi adalah Dewa Sangskara sebagai pemelihara tumbuhan (Nala , 2004). Laksmi, Dewi Uma dan Parwati merupakan dewi pemelihara sebagai sakti dari Dewa Wisnu, sehingga padi sangat dekat dengan air dan pengairan. Konsep subak sebagai sistem irigasi endogenous di Bali merupakan turunan konsep mengalirkan air kehidupan dari pegunungan kedataran dan berakhir di pantai. “Because the Goddess make the water flow, those whos do not follow her laws may not possess her rice terraces” (Lansing, 1991 dalam Hamilton 2003). Seperti halnya di Asia Timur padi di Bali sama artinya dengan makanan (Brinkgreve, 2003). Padi sebagai bagian kegiatan upacara yang sangat sentral, selain pemeliharaan padi tersendiri dilakukan berbagai upacara. Produk turunan padi di Bali antara lain digunakan membuat jaja (kue) yang dipilih atas dasar sifat struktur, karakteristik warnanya dan aspek kosmologi.
Dalam sejarah Tamil Nandu, padi dikenal dan ditanam pada 6000 tahun lalu berdasarkan bukti-bukti arkeologis uji karbon (Khrisna, 2003). Dalam bahasa sanskrit beras (vrihi) dan nasi (annam), dan Dewi Padi (Annapurna). Upacara pemberian makanan berupa nasi disebut Annadana. Dalam Upanishad diungkapkan segala sesuatu yang ada di dunia lahir dari padi, berkat ada padi, berkat padi, karena dekat dengan padi ada kehidupan. Upacara sebagai bagian kewajiban suci dalam segala aktivitas pertanian sebagai sarana dalam membangun keharmonisan hubungan. Maitri Upanishad (Sugiarto, 1985), keharmonisan hubungan kerja diungkapkan seperti berikut. Saluran (yaitu kurban suci) menjadi penyebab melimpahnya makanan, dengan memakai api suci sarinya dapat ke matahari. Dari langit bersama-sama dengan turunnya air hujan, bagaikan nyanyian suci (udgita) ikut pula turun benih –benih kehidupan. Melalui cara demikian itu muncullah makhluk hidup dan berkembanglah keturunannya. Keharmonisan hidup mengacu pada keterbatasan sumberdaya alam, memberikan priorotas untuk belajar hidup saling menunjang, sehingga lebih bersifat demokratis dan menuju arah desentralisasi. Pendapat serupa dikemukakan oleh Robertson (1990) dalam strategi hidup sehat, humanistik dan ekologis. Kunci masa depan bukan pada keperluan yang terus menerus, sehingga diperlukan perubahan arah dalam aktivitas pembangunan. Paradigma keberhasilan pertanian dan kecukupan pangan dengan kriteria-kriteria ketidakbergantungan. Hartawan adalah orang yang memiliki alat-alat yang diperlukan untuk memanfaatkan sebaik-baiknya aliran energi alam. Alat-alat pertanian yang bertumpu pada turbin- turbin pembangkit tenaga air. Begitupula paradigma petani yang berkuasa atau orang berkuasa adalah orang yang memiliki kekuatan batin untuk mengendalikan hidupnya sendiri dan secara kreatif dapat menyumbangkan tenaganya unttuk kehidupan orang lain.Kekuasaan adalah ketidakbergantungan, membantu orang lain agar dapat membantu dirinya, terutama dalam penyediaan makanannya.
DAFTAR PUSTAKA
Igp Suryadarma. 2008 .Diktat Kuliah Etnobotani. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta